Selasa, 21 April 2009

Berkat Pengalaman Karin



“Nadia , mama sudah bilang berulang kali ke kamu kalau ke rumah teman jangan malam-malam. Apa kamu tidak tahu jam berapa sekarang?” kata mama ketus.
“Tahu, ma. Jam 19.00. Kenapa sih mama parno gitu? Aku kan cuma ke rumah Lastri.” Kataku sambil melepas sepatu.
“Jelas saja mama parno. Kamu main sampai jam segini. Kayak nggak ada kerjaan lain aja.” Tegur Joni, kakakku.
“Bawel amat,sih!” kataku dengan santai.
“Kamu kalau dibilangin selalu ngelawan…” sahut Bastian jengkel.
“Sudah cukup. Kalian ini kerjaannya bertengkar saja. Joni, tolong bantu mama belikan popok untuk Retno. Nadia, mama ingin kamu lebih bisa mengatur waktu lagi. Apalagi sekarang kamu sudah kelas 8. Sudah banyak waktu kamu buang dengan sia-sia, contohnya……”
“Waktu makan, tidur, dan belajar. Benar kan, Ma? Maaf, Nadia lagi capek sekarang. Kalau mama belum puas, besok saja diselesaikan ceramahnya.” Sahutku sambil meluncur ke kamar yang berada di lantai 2.

Brak!! Kubanting pintu kamar yang berwarna merah muda itu. Aku benci mama. Mama selalu mengatur hidupku. Harus begini, harus begitu…..benar-benar bikin kesal. Saat seperti ini, aku selalu membayangkan jika diriku bertukar tempat dengan Karin, temanku. Aku yakin 24 karat kalau dia sangat bahagia dengan hidupnya. Bagaimana tidak, Ia adalah anak tunggal pengusaha terkemuka di daerahku. Selain itu, ia adalah anak emas guru-guru. Nilainya tidak pernah dibawah 80. Juara kelas selalu diraihnya. Sangat bertolak belakang dengan diriku. Aku adalah anak ke-2 dari tiga bersudara. Ayahku hanya karyawan pabrik rokok. Selain itu aku tidak punya otak secemerlang Karin. Boro-boro dapat diatas 80, nilai 75 sudah sangat bagus bagiku. Ternyata, Dewi Fortuna itu masih ada dan jika ada, ia adalah orang yang sangat baik bagi Karin dan orang yang sangat buruk bagiku.
Saat sedang kalut, tiba-tiba kutemukan secarik kertas di meja. Ternyata itu punya Karin, temanku. Rupanya ia lupa membawa kertas ini saat pulang dari rumahku kemarin. Akupun penasaran dengan isi kertas itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membacanya sambil makan kue kesukaanku.
Bagi setiap orang, menjadi anak tunggal yang pintar dan kaya adalah impian. Tapi apa mereka tahu kesedihan dibalik semua itu? Mungkin hanya aku yang mengalaminya selama ini.
Namaku Karin. Aku adalah anak tunggal Pak Iman, pengusaha terkemuka dan Bu Tari, dosen UM. Di sekolah, aku termasuk anak yang pintar. Nilaiku selalu diatas 80. Mungkin bagi kalian hidupku sangat sempurna. Tapi itu tidak seperti yang kalian bayangkan. Ayahku adalah orang yang sangat perfect. Ia selalu menyuruhku belajar dan belajar agar selalu menjadi nomer satu. Ia juga selalu menyuruhku untuk mendapat nilai diatas 80. Karena itu, aku selalu merasa ketakutan dan stres saat ulangan berlangsung. Karena tuntutan ayah juga, aku tidak pernah bermain bersama teman-teman dan menjadi anak tertutup di lingkungan rumahku. Selain itu, aku juga merasa kesepian jika di rumah. Ayah ibuku paling cepat sampai rumah jam 20.30 dan selalu berangkat jam 05.00. Aku jarang sekali bertemu mereka. Yang menemaniku hanyalah seorang pembantu dan Monky, boneka kesayanganku. Andai peri itu ada, pasti aku ingin punya saudara yang dapat menemaniku saat kesepian seperti sekarang.
Ayah ibuku adalah orangtua yang sadis. Mereka tidak pernah memperhatikanku. Bagi mereka, dengan memberi uang saku yang banyak dan mencukupi segala kebutuhanku, tugas mereka sudah selesai. Tapi aku ingin sekali kasih sayang mereka. Aku ingin bercanda tawa dengan mereka. Tapi apa mau dikata, aku hanya bisa bertemu mereka pada hari Minggu. Pada hari itu, mereka hanya bertanya nilaiku dan segala keperluan sekolahku. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku dan kabarku di sekolah. Bagi mereka, itu semua tidak penting. Mungkin, aku hanya robot di mata mereka yang tidak punya perasaan.
Kadang, aku selalu merasa iri pada teman-temanku. Mereka sangat menikmati hidupnya. Contohnya Ina. Ibunya baru melahirkan seorang bayi bernama Galuh. Setiap hari Ina selalu menceritakan tentang adiknya. Mulai dari berat badannya sampai kebiasaannya. Lain lagi dengan Alia. Ia selalu menceritakan keharmonisan ayah dan ibunya. Alia dan kedua orangtuanya sering bercanda tawa. Meskipun pernah dimarahi ayah ibunya, Alia tidak pernah membenci mereka karena ayah ibunya tetap mengasihinya dan memberi perhatian padanya. Nia juga punya cerita yang seru. Kakaknya sangat suka dengan sepakbola. Mereka sering sekali bertengkar gara-gara acara tv. Tapi melihat cara Nia bercerita, aku yakin mereka sangat bahagia. Kemudian cerita Dea, Maria dan yang lainnya semakin mengiris hatiku. Andaikan aku bisa punya keluarga seperti mereka. Andaikan aku punya ayah seperti ayah Maria yang mau meluangkan waktu untuk menjemput anaknya, atau punya ibu seperti ibu Riana yang selalu punya waktu untuk mendengarkan cerita anaknya, atau punya saudara seperti saudara Nadia yang meskipun nakal tapi selalu menjaganya dan menolongnya jika mengalami kesulitan.
Kalau aku merasa sedih dan teringat akan cerita teman-temanku, aku selalu melihat foto kakek yang meninggal setahun lalu. Kakek sering berkata kalau rumput tetangga kelihatan lebih indah yang artinya kita harus mensyukuri apa yang kita punya sekarang. Kakek juga mengajarkan padaku agar selalu menyayangi orangtua kita meskipun itu sangat menyakitkan. Dengan melihat sosok kakek di foto, aku menjadi bahagia dan semangatku bangkit kembali. Tapi, andai aku bisa memilih, aku pasti memilih orangtua yang tidak kayab tapi sangat memperhatikan anaknya.
Tiba-tiba, setetes air jatuh ke pipiku. Ya ampun, aku menagis. Cepat-cepat kuusap air mata ini. Ternyata selama ini pemikiranku keliru. Aku pikir kebahagiaan bisa kita dapat kalau kita kaya dan pintar. Tapi itu semua salah. Kebahagiaan tidak diukur dari itu. Kebahagiaan diukur dari kasih sayang. Oh Tuhan, aku tidak mau bertukar tempat dengan Karina. Hidupku sekarang lebih menyenangkan. Aku punya mama yang memperhatikan segala kebutuhanku dan punya waktu untuk mendengar segala keluh kesahku. Aku juga punya kakak yang sedikit menyebalkan tetapi sangat memperhatikan dan menjaga diriku. Aku juga punya ayah yang sangat baik dan mau bekerja keras hanya untukku. Berkat pengalaman Karin, aku sekarang mengerti betapa pentingnya keberadaan keluarga bagi kita.

“Sayang, hati-hati ya di rumah. Mama harus ke rumah bude sekarang. Pintunya jangan lupa dikunci. Kalau ada orang yang tidak dikenal, jangan dimasukkan.” Kata mama sambil membetulkan kancing bajunya. Aku hanya mengangguk lesu. Hari ini mama harus ke rumah Bude Wati. Katanya, Lea, anak bude sedang diopname karena sakit tipes. Memang akhir-akhir ini cuaca sedang buruk. Karena itu banyak anak yang terserang penyakit. Untunglah aku baik-baik saja.
Nah, kembali ke topik awal. Hari ini bibi Yati, pembantuku sedang pulang kampung. Anaknya akan menikah. Oleh karena itu, aku jadi agak lesu sekarang. Bagaimana tidak, rumahku sangat sepi. Tetanggaku hanya 3 keluarga, keluarga Pak Broto, keluarga Pak Wawan dan keluarga Pak Haris. Tapi, hari ini adalah hari Selasa. Biasanya, kalau hari Selasa keluarga Pak Broto tinggal di rumahnya yang lain dan keluarga Pak Wawan tidak ada di rumah selama minggu ini. Memang sih, keluarga Pak Haris ada di rumah, tapi rumahnya di ujung jalan jadi agak jauh dari rumahku. Dan yang bikin aku takut, disamping rumahku terdapat tanah kosong. Apalagi ada pohon pisang disana. Kata teman-teman kalau ada pohon pisang berarti ada……Hi….aku semakin takut. Mau ikut ke rumah bude, nggak mungkin. Besok aku harus sekolah dan masih banyak pr yang harus kuselesaikan. Mau nggak mau, suka nggak suka aku harus tinggal di rumah sekarang.
Mama sudah berangkat sama Roni, adikku. Karena takut, kunyalakan semua lampu di rumah. Untuk menyibukkan diri, setelah mengerjakan pr, aku membaca majalah kesayanganku. Di salah satu rubrik majalah itu, terdapat tes untuk menentukan apakah rumah kita ada penunggunya apa tidak. Setelah kucoba ternyata rumahku termasuk rumah yang berpenghuni. Akupun semakin ketakutan. Akhirnya aku menonton tv hari ini sambil sms-an dengan Hera, sahabatku. Aku langsung memencet nomor 3 untuk menonton sinetron kesukaanku.


0 komentar:

Kelly_talkiNg2 © 2008 Por *Templates para Você*